Perintah dan Ajakan
Oleh: A. Mustofa Bisri
Kata amar yang berasal dari bahasa Arab sama artinya dengan perintah. Perintah ialah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu. Baik dalam kata amar maupun padanannya (perintah), kita merasakan adanya nuansa paksaan atau keharusan. Berbeda dengan ajakan yang ‘hanya’ berarti undangan; anjuran, atau permintaan supaya berbuat.
Di terminal, kita banyak menjumpai calo-calo yang menawarkan ‘busnya’ kepada calon-calon penumpang. Umumnya, dengan menyampaikan kelebihan dan keistimewaan bus yang ditawarkannya. Tapi, ada saja calo yang begitu bersemangat, sehingga kesannya bukan mengajak, tapi memaksa.
Berbicara tentang perintah dan ajakan, kita teringat kepada dua istilah yang sangat populer di kalangan kaum muslimin; yaitu dakwah dan amar makruf nahi munkar. Selama ini, umum menganggap kedua istilah itu sama. Padahal, minimal dari segi pengertian bahasa, keduanya berbeda seperti halnya perintah dan ajakan tadi.
Di dalam al-Quran sendiri, kedua istilah itu sering digunakan. Kita pisahkan dulu istilah dakwah yang digunakan dengan pengertian doa dan menyeru yang juga banyak digunakan dalam al-Quran. Karena kita hanya sedang membicarakan dakwah-atau dalam bahasa Indonesia, dakwah-yang berarti ajakan dan sering disamakan dengan amar makruf nahi munkar.
Ayat yang sering disebut-sebut sebagai dalilnya dakwah ialah ayat 125 surah 16. al-Nahl, “Ud’u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi, waHuwa a’lamu bilmuhtadiin.” (Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk).
Dalam kalimat “Ajaklah ke jalan Tuhanmu…”, tidak disebutkan objeknya. Siapa yang harus diajak? Maka, dalam Al-Quran dan Terjemahannya, diberi tambahan dalam kurung (manusia) dan dalam beberapa kitab tafsir, diberi penjelasan bahwa yang diajak adalah mereka menjadi sasaran dakwah. Saya sendiri berpendapat bahwa kalimat ini memang tidak membutuhkan objek. Karena rangkaian kalimatnya sudah menunjukkan siapa yang harus diajak. Dari firman “Ajaklah ke jalan Tuhanmu”, sudah jelas siapa yang mesti diajak, yaitu mereka yang belum di jalan Tuhan.
Karena mengajak mereka yang belum di jalan Tuhan, maka-wallahu a’lam-diperlukan cara yang sesuai dengan yang namanya ajakan, dengan hikmah dan mau’idhah hasanah. Apabila mesti berbantah, hendaklah dengan cara yang paling baik. (Maka, kecenderungan melibas mereka yang belum/tidak di jalan Tuhan, sama halnya dengan menghendaki tidak difungsikannya ayat dakwah ini). Bahkan, untuk mendakwahi Firaun pun, Allah berfirman kepada kedua utusan-Nya, Nabi Musa dan Nabi Harun, “Faquulaa lahu qaulan layyinan…” (Q. 20: 44) “Dan berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…”
Kiranya, dengan cara yang diajarkan Tuhannya inilah, Nabi Muhammad SAW sukses dalam dakwahnya. Dan untuk konteks Indonesia, cara ini pulalah kiranya yang menyebabkan dakwah Para Walisongo berhasil.
Lalu, bagaimana dengan amar-ma’ruf nahi ‘anil-munkar yang bernuansa lebih ‘keras’? Amar-ma’ruf nahi ‘an al-munkar (seharusnya) merupakan ciri komunitas orang-orang mukmin yang tentu saja sudah berada di jalan Allah. (Baca misalnya, Q. 3: 110, 114; 9: 71). Dalam bahasa al-Quran, mereka satu sama lain adalah waliy (dalam bahasa Jawa, saya mengartikan waliy dengan bala, kebalikan dari musuh). Di dalam komunitas seperti ini, perintah berbuat makruf dan larangan berbuat kemungkaran merupakan keniscayaan. Sebab, mereka semua ada di satu jalan dan menuju satu tujuan. Jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan bersama. Kalau boleh kita urutkan, pertama-tama dakwah, kemudian amar makruf nahi munkar. Wallahu a’lam bishshawaab.