Di antara ulama yang mengatakan bahwa ziarah kubur bagi wanita dilarang adalah Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Al-Maliki, terkenal dengan sebutan “Ibnu al-Hajj”. Ia berkata:
“Dan selayaknya baginya (laki-laki) untuk melarang wanita-wanita untuk keluar ziarah kubur meskipun wanita-wanita tersebut memiliki makam (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah untuk ziarah kubur”. (Lihat Madkhal As-Syar‘i Asy-syarif 1/250)
Sementara ulama yang menyatakan ziarah kubur bagi wanita boleh antara lain berpedoman pada hadits riwayat Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik RA bahwa:
Rasulullah SAW melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis. Maka Rasulullah SAW berkata padanya: “Bertaqwalah engkau kepada Allah SWT. dan bersabarlah.” Maka berkata wanita itu : “Menjauhlah dariku, engkau belum pernah tertimpa musibah seperti yang menimpaku”, dan wanita itu belum mengenal Nabi SAW, lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah SAW, ketika itu, ia bagai ditimpa perasaan seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah).
Kemudian wanita itu mendatangi pintu (rumah) Rasulullah SAW dan dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu) belum mengenalmu,” maka Nabi SAW berkata: Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu adalah ketika (bersabar) pada pukulan (cobaan) pertama.”
Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. (Lihat Shohih Al-Bukhari 3/110-116).
Al-Imam Al-Qurthubi berkata : “Laknat yang disebutkan di dalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”.
Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan teriakan, erangan, raungan dan semisalnya.
Jika semua hal tersebut tidak terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita untuk ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi laki-laki maupun wanita”. (Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an).
Sebenarnya, hukum ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan adalah sunnah. Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran dan ingat akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Ziarah kubur yang dilarang adalah pemujaan, menyembah dan meminta-minta kepada penghuni kubur.
Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi wanita itu telah dicabut dan hukum berziarah baik laki-laki maupun perempuan adalah sunnah. Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan:
“Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi perempuan) diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)
وَسُئِلَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ زِيَارَةِ قُبُوْرِالأَوْلِيَآءِ فِيْ زَمَنٍ مُعَيَّنٍ مَعَ الرِّحْلَةِ إِلَيْهَا... فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ ِزيَارَةِ قُبُوْرِالأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ إِلَيْهَا...
“Ibnu Hajar Al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab: “berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz II : 24).
Para wanita sebetulnya sudah masuk keumuman hadits “Kuntu qad nahaitukum an ziaratil quburi fazuuruha”, “Dulu aku melarang kalian ziarah qubur, namun sekarang berziarahlah kalian”.
Para ulama banyak yang mensyaratkan kebolehan itu dengan ketiadaan fitnah atau maksiat. Apalagi untuk budaya Arab, mobilitas perempuan di luar sangatlah rendah, sehingga kepergiannya ke masjid pun, halal haramnya masih diperdebatkan. Anehnya zaman ini, kepergian wanita ke supermarket, ke arisan, ke tempat wisata, dan keramaian lainnya tak pernah menjadi topik pengharaman. Padahal seharusnya justru tempat yang tak ada kaitan dengan agama itu lebih layak untuk dibahas.
Imam Bukhari mengkisahkan Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam saat bertemu dengan seorang ibu yang menangis di makam (menurut hadits lain, itu makam anaknya), bukannya menghardik menyuruhnya pulang, namun memberikan simpatinya. Bahkan menasihatinya dengan “Ash-shabru indash shadmatil uula”, “Sesungguhnya sabar di saat kegoncangan (musibah) itu adalah lebih utama” (HR Bukhari).
Tentang hadits ini Syaikhul-Muhadditsiin, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (dalam Syarah Hadits Bukhari) mengomentari bahwa Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak mengingkari atau komplain terhadap duduk ziarahnya wanita tersebut.
Sayyidah Aisyah RA juga pernah diketahui sedang berziarah ke makam
saudaranya, Abdurrahman. Shahabat pun menanyai beliau, bukankah Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam melarangnya ? Maka beliau (Sayyidah ‘Aa-isyah) menjawab, memang dulu Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam melarang ziarah, namun kemudian beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam memerintahkan berziarah.
Imam Muslim juga mengkisahkan Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah mengajarkan tata cara berziarah kepada istri beliau Sayyidah Aisyah RA, yakni cara mengucapkan salam kepada ahli kubur. Lagi pula, bila berziarah kubur itu mengingatkan orang kepada maut, maka kebutuhan ingat maut itu tidak hanya didominasi pria, namun wanita juga membutuhkannya. Syarah hadits HR Abu Dawud lebih tegas lagi, menceritakan ziarah kubur ini dari sisi kebutuhan muslim baik laki maupun perempuan untuk mengingat akhirat (Aunul Ma’bud 9:59).
Lalu mengapa pernah ada larangan wanita berziarah ?
Ternyata larangan tersebut berdasarkan analisis para pakar, menurut riwayat Imam Tirmidzi, terdapat dalam hadits yang disampaikan sebelum saat dibolehkannya ziarah kubur. Sehingga larangan tersebut tidak hanya berlaku bagi wanita namun juga bagi pria [hingga kemudian Rasululullah menghapuskan larangan itu, red.], sebagaimana dicatat dalam HR Bukhari di atas. (Jami’ Tirmidzi 4:160).
Ini dipertegas kejelasannya dengan adanya adat kebiasaan Sayyidah Fathimah putri Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang selalu berziarah ke makam pamannya Sayyidina Hamzah setiap hari Jumat, saat mana beliau juga shalat dan menangis di sana. (HR Hakim). Hadits ini bahkan menunjukkan agar kita dipersilahkan mengatur jadwal kita, hari apa atau bulan apa atau tanggal berapa untuk berziarah ke makam para leluhur termasuk makam sesama kaum muslimin.
Kaum muslimin dan muslimat, tidak perlu takut-takut dituduh bid’ah atau kafir atau syirik kalau menjadwal ziarahnya tiap malam Jumat atau tiap menjelang Ramadlan atau Syawal atau waktu lainnya. Sebab tuduhan semacam bid’ah atau kafir tidak selayaknya disampaikan kepada orang yang mengikuti Sunnah Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam dan shahabatnya radhiyAllahu ‘anhum ajma’in. Dan bagi yang suka menuduh bid’ah atau kafir itu, sudah selayaknya lekas bertobat, mohon ampun kepada Allah SWT, bahkan bila perlu mengulangi syahadatnya, sebab dalam salah satu haditsnya, Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam mengancam seseorang itu akan kafir dengan sendirinya bila yang dituduhnya kafir ternyata bukan kafir seperti yang ia tuduhkan.
Ziaroh Kubur tuk Wanita
Written By عبدالله مستغفرين on 07 Agustus 2008 | 12.45
Related articles
- Polemik Fitnah Mahasiswa terhadap Dosen Agama Islam Polines
- Keutamaan Tarawih Ramadhan - Kitab Duratun Nashihin.
- Maulid Nabi, antara tradisi dan hukum
- JASAD PROF. DR. AS-SAYYID MUHAMMAD AL-MALIKI MASIH UTUH
- HUKUM SELAMATAN HARI KE-3, 7, 40, 100, SETAHUN, DAN 1000 HARI
- Maulid Nabi Muhammad Saw Menurut ulama Salaf (terdahulu)
Topik Bahasan:
Artikel Islam
,
Aswaja